Pengikut

Rabu, 22 Januari 2014

education

menurut wikipedia
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. http://id.wikipedia.org/wiki/Edukasi
berikut ini beberapa artikel tentang education di beberapa negara di dunia;
  1. Remaja Berlatar Belakang Migran dalam Sistem Pendidikan di Jerman

    Sistem pendidikan di Jerman terkenal sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Dari sini dilahirkan para ilmuwan atau insinyur kenamaan. Akan tetapi, tidak semua penduduk yang bermukim di Jerman dapat menikmatinya.
    Terutama para pria remaja berlatar belakang migran, mereka memiliki citra umum sebagai kelompok yang kalah dan gagal dalam pendidikan di Jerman. Dalam arti, jarang yang dapat menyelesaikan sekolah menengah atasnya. Di sekolah tinggi dan universitas Jerman, remaja pria berlatar belakang migran adalah kelompok minoritas. Dewasa ini para pakar pendidikan dan aktivis kegiatan sosial berusaha membantu kelompok remaja bermasalah ini.
    Jika pada tahun 60-an, yang terkenal sebagai kelompok yang kalah dalam dunia pendidikan di Jerman adalah para remaja perempuan dari keluarga Katholik di pedesaan, sekarang situasinya berubah. Remaja pria dari keluarga berlatar belakang migran merupakan kelompok pecundang dalam bidang pendidikan di Jerman. Demikian diungkapkan Professor Vera King, pakar pendidikan Jerman yang mengumpulkan pengalamannya dari praktek nyata di bidang kerja sosial bagi para remaja.
    Dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan Akademi Protestan Loccum didiskusikan penyebab kegagalan para remaja dengan latar belakang migran dalam sistem pendidikan Jerman. Khususnya disoroti situasi para remaja itu dan keluarganya.
    Andreas Schiemann, dari perhimpunan Protestan bagi remaja, tahu persis situasi semacam itu. Ia berkiprah untuk memungkinkan remaja-remaja tanpa ijazah sekolah menengah, juga dapat memiliki kualifikasi kerja. Saat ini perhimpunan tersebut mengembangkan cara tersendiri: “Kami memiliki pengalaman dalam kelas campuran lelaki dan perempuan dengan seorang guru perempuan, anak lelaki biasanya merasa terkucilkan. Selain melontarkan omong kosong, tidak ada lagi yang dapat mereka kerjakan. Juga mereka merasa tidak percaya diri dalam pelajaran. Sebab, jika mereka melakukan kesalahan, anak-anak perempuan akan tertawa riuh. Kami lalu memisahkan mereka, dalam kelas pelajaran matematika hanya untuk perempuan dan hanya untuk lelaki. Nyatanya hal itu berfungsi. Murid lelaki yang juga diajar guru lelaki, berpartisipasi aktif dan juga mau menerima pertolongan.“
    Provokasi atau bergaya dibuat-buat, merupakan kenampakan egoisme yang melembung, yang menutupi kelemahan diri sendiri. Itulah ciri khas semua remaja lelaki, terutama di masa puber, terlepas dari asal usul maupun kebangsaan mereka. Akan tetapi apa yang disebut “jantan“, definisinya berbeda tergantung latar belakang budayanya. Bagi para remaja dengan latar belakang migran, hal ini semakin menyulitkan mereka. Demikian diungkapkan psikolog dari pusat kedokteran-ethno di Hannover, Ahmet Kimil.
    “Lelaki dalam masyarakat tradisional melambangkan kekuatan. Jadi mereka harus kuat dan mampu memberi makan keluarganya. Bagi generasi pertama kaum migran di Jerman, terdapat sejumlah pabrik di mana mereka dapat bekerja, juga tanpa bekal pendidikan memadai. Sementara generasi kedua atau ketiga, yang gagal dalam pendidikan, tentu saja menghadapi masalah. Karena tidak ada lagi peranan bagi mereka dalam masyarakat. Secara psikologis hal itu amat berat. Muncul perasaan marah, geram dan kita bukan bagian dari masyarakat ini. Dampaknya para remaja ini cenderung lebih sering melakukan kekerasan atau menjadi pemakai narkoba. Atau juga masalah lainnya termasuk problem psikis.“
    Pengalaman lainnya diungkapkan oleh Marita Bell, yang bertugas di sebuah sekolah kejuruan di negara bagian Jerman-Niedersachsen. Bell berusaha dengan segala cara untuk mendisiplinkan para siswanya. Ia menetapkan batasan. Secara konsekuen mengatakan tidak. Dan membuktikan kata-kata dengan perbuatan. Menghadapi anak-anak dengan latar belakang budaya oriental, Marita Bell menceritakan pengalamannya:
    “Dan kadang-kadang jauh lebih baik, jika saya melibatkan ayah siswa. Memang beberapa orang ayah harus dipanggil tiga atau empat kali, sampai dia datang ke sekolah dengan ogah-ogahan. Tapi jika para siswa tahu, bahwa saya memanggil ayahnya untuk bekerjasama, dalam tempo amat cepat terlihat perubahan.“
    Akan tetapi, kadang-kadang otoritas ayah juga tidak mempan. Terutama jika para remaja dengan latar belakang migran memandang ayahnya sebagai orang yang lemah. Dalam situasi semacam ini, seringkali penghormatan terhadap orang tua juga tidak ada. Karena itu amat penting juga bagi tatanan kemasyarakatan, agar para remaja berlatar belakang migran ini memiliki teladan kejantanan dan peluang di luar lingkungan keluarga. Sebab, rasa frustrasi dalam jangka panjang juga amat berbahaya. Psikolog dari pusat kedokteran-ethno di Hannover, Ahmet Kimil menjelaskan:
    “Saya pribadi mengalaminya dalam hidup saya. Saya harus melawan prasangka buruk dari keluarga saya sendiri. Ini merupakan perjuangan besar. Di sisi lainnya, kadang-kadang saya juga harus menghadapi prasangka dari sekolah dan dari tempat kerja. Kita harus benar-benar membela dan mengamati para remaja ini. Apa potensi mereka? Kita harus memotivasi, memberikan perasaan bahwa mereka tidak sendirian. Tapi di sisi lain, kita juga harus menjelaskan, bahwa mereka harus menentukan sendiri di mana posisinya dalam masyarakat ini.“
    Tema remaja dengan latar belakang keluarga migran, terkait dengan sistem pendidikan dan integrasi di Jerman, sejauh ini tetap merupakan persoalan pelik yang sulit dipecahkan. Penyebanya juga beragam. Tuntutan zaman yang berubah amat cepat, dengan persyaratan latar belakang pendidikan yang memadai, membuat remaja migran yang gagal di sekolah akan semakin tertinggal. Sementara nilai budaya yang berbeda atau bahkan bertentangan, antara tatanan kehidupan kemasyarakatan sehari-hari dengan yang diterapkan dalam keluarga, juga menghambat integrasi generasi kedua atau ketiga dari keluarga migran. Terjadi reaksi berantai dengan akibat amat merugikan. Dari mulai kegagalan pendidikan dan integrasi yang berujung pada kegagalan di semua lini kehidupan. Pada akhirnya, para remaja pria berlatar belakang migran di Jerman tetap akan menjadi kelompok yang kalah, jika tidak mampu mengadaptasi dan mengikuti sistem pendidikan yang berlaku di negara ini. (as)
    Suasana kelas satu sekolah menengah di Leipzig, dengan 35 persen murid berlatar belakang migran 

    http://www.dw.de/remaja-berlatar-belakang-migran-dalam-sistem-pendidikan-di-jerman/a-4138742
     
    2. Sistem pendidikan di Saudi Arabia
    Saudi Arabia mencakup sebagian besar Semenanjung Arab. Dari luas semenanjung Arab yang mencapai kurang lebih 3 juta kilometer persegi 2.200.000 kilometer persegi merupakan daerah Saudi Arabia. Negara ini berbatasan dengan telik Persia, Qatar, dan Negara persatuan Emirat Arab di sebelah Timur dengan Negara Oman dan Yaman si Selatan laut merah dan Teluk Aqabah di sebelah Barat dan dengan Jordan, Iraq dan Quait disebelah Utara. Saudi Arabia berpenduduk kurang lebih 21.504.613 jiwa (world Almanac 2000) 43% diantaranya berusia dibawah 15 tahun, dan 2,5% berusia di atas 65 tahun.

    Kerajaan Arab Saudi berdiri pada tahun 1932 dan menempati 80 persen luas semenanjung Arab. Secara geografis negara ini berbatasan dengan Jordania, Kuwait, dan Iraq di sebelah Utara, Laut Merah disebelah barat, Qatar dan Uni Emirat Arab disebelah timur, serta Yaman dan Oman disebelah selatan. Saudi Arabia adalah negara yang menganut hukum berbasis Islam di mana hukum syariah sebagai dasar konstitusi dan system hukum.


    Penemuan ladang minyak dan peningkatan konsumsi minyak pada awal tahun 1970-an mendorong perkembangan industri dan urbanisasi yang begitu pesat. Saat ini, 70% populasinya menghuni kota-kota besar dan tulang punggung perekonomian masih bergantung pada industri minyak sementara Arab Saudi banyak menggunakan tenaga asing karena kebutuhan SDM yang begitu besar. Di samping sisi dunia kerj, daya tarik Arab Saudi yang lain adalah dunia pendidikan. Sistem Pendidikan di Arab Saudi memisahkan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan syariat Islam. Berikut ini akan di bahas mengenai system pendidikan di Saudi Arabia.
    http://cahkaliboyo.blogspot.com/2013/05/sistem-pendidikan-di-saudi-arabia.html
     
    3. Belajar dari Sistem Pendidikan Jepang
    JAKARTA - Untuk maju, sebuah negara tidak dapat terlepas dari perkembangan dan pembaruan sistem pendidikan di negara tersebut. Contoh nyata adalah Jepang. Sistem pendidikan yang berlaku di Jepang ternyata memberikan kontribusi yang signifikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang pesat di Negara Matahari Terbit itu.
    Demikian disampaikan dosen tamu, seorang ahli mengenai comparative education dari Hiroshima University Jepang Yutaka Otsuka pada kuliah umum di PPs Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Pada kesempatan tersebut, Otsuka mengupas secara mendalam perkembangan sistem pendidikan di Jepang sejak awal hingga sekarang.

    Menurut Otsuka, pendidikan adalah hak setiap orang tanpa memandang adanya perbedaan status sosial maupun latar belakang. Sebagai contohnya, lanjutnya, beberapa sekolah yang berdiri di abad 15-17 dan berperan penting dalam pengembangan kebijakan pendidikan di Jepang, misalnya Sekolah Ashikaga di Perfektur Tochigi.

    "Saat itu, sekolah tersebut menawarkan jenjang pendidikan tertinggi di Jepang dan siswanya berasal dari kalangan atas. Sekarang, bangunan sekolah ini dipergunakan sebagai perpustakaan yang khusus menyimpan karya-karya klasik China," papar Otsuka, seperti dilansir dari situs UNY, Senin (1/10/2012).

    Selain sekolah Ashikaga, Otsuka juga menyampaikan keberadaan sekolah-sekolah lain di masa tersebut yang banyak dipengaruhi oleh agama, yaitu Sekolah Budha dan Kristen. "Sekolah Budha di Five Zen Temples adalah sekolah khusus untuk calon bhiksu. Sekolah tersebut cukup berpengaruh pada masa itu dalam pemerintahan di Jepang. Sementara Sekolah Kristen yang juga ada pada masa tersebut membawa ide baru bagi sistem pendidikan di Jepang dengan membawa paham bahwa pendidikan terbuka bagi siapa saja, bukan hanya kalangan tertentu," ungkapnya.

    Dia menjelaskan, berbagai isu pendidikan yang berkembang kala itu antara lain adanya pemahaman yang bias terhadap budaya tradisional, diskriminasi karena adanya kelas-kelas sosial, belum adanya standar yang jelas mengenai durasi pendidikan di tiap jenjang, serta isi kurikulum dan evaluasi terhadap siswa.

    Pada perkembangan selanjutnya, di akhir abad 19, sistem pendidikan di Jepang semakin terbuka untuk semua kalangan siswa. Sistem pendidikan modern yang pertama di Jepang adalah Gakusei, dengan fokus utama pada pengembangan pribadi siswa secara akademik maupun non-akademik.

    "Sejak masa tersebut, pemerintah mengalokasikan dana yang banyak per tahun untuk pendidikan dan mulai menerapkan standarisasi mengenai jenjang pendidikan, fasilitas, struktur sekolah, hingga kurikulum dan materi pembelajaran. Tidak lupa pula disisipkan berbagai nilai sosial dan budaya kepada siswa dengan tujuan terbentuknya sistem pendidikan yang berakar pada budaya dan karakteristik bangsa," tutur Otsaka.

    Presiden Japan Comparative Education Society ini menyampaikan, di Jepang, nilai-nilai moral penting untuk ditanamkan pada siswa, mengingat fenomena bunuh diri di kalangan siswa yang angkanya cukup tinggi. "Pembinaan karakter merupakan salah satu hal yang ditonjolkan dalam sistem pendidikan di sana," tandasnya.

    Selain itu, prioritas utama dalam pendidikan modern di Jepang saat ini adalah tercapainya keharmonisan antara sikap pribadi siswa dan kemampuan mereka untuk bekerjasama dengan orang lain. Hal itu tampak pula dalam pembelajaran di kelas. Misalnya, melalui berbagai aktivitas yang didesain untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam kelompok untuk menumbuhkan tanggung jawab mereka sebagai individu sekaligus anggota kelompok.

    Saat ini, 90 persen pemuda Jepang kuliah di perguruan tinggi, baik universitas maupun technical college. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, khusus untuk calon guru, pemerintah Jepang membekali mahasiswa dengan training khusus yang wajib mereka ikuti. Training tersebut diselenggarakan setiap tahun dan biayanya ditanggung oleh pemerintah.

    Di akhir kuliah umum tersebut, Otsuka menggarisbawahi, pendidikan merupakan hal yang penting bagi perkembangan suatu bangsa. "Oleh karena itu, penting pula untuk mempelajari berbagai hal terkini yang berkaitan dengan pendidikan baik yang terjadi di negara tersebut maupun di negara lain," imbuhnya.
    (mrg)
    http://kampus.okezone.com/read/2012/10/01/373/697406/belajar-dari-sistem-pendidikan-jepang
     
     

2 komentar: